PALANGKA RAYA – Koalisi masyarakat adat dan organisasi masyarakat Dayak Kalimantan Tengah melaporkan secara resmi Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) atau Pasukan Merah ke Majelis Adat Dayak Nasional (MADN). Mereka menyebut laporan itu untuk menjaga kehormatan dan harga diri masyarakat Dayak Kalteng.
Koordinator aliansi Bambang Irawan mengatakan, pihaknya melaporkan perbuatan buruk ormas TBBR kepada MADN di Jakarta. Laporan itu merupakan tindak lanjut dari aksi damai yang dilakukan beberapa waktu lalu.
Bambang menuturkan, dalam laporan itu disebutkan, TBBR tidak mengakui keberadaan MADN sebagai pusat tertinggi dari ormas Dayak di Kalimantan. Tidak menghargai dan tidak mengakui keberadaan DAD sebagai lembaga tempat koordinasi ormas yang berbasis masyarakat adat Dayak.
”Sementara di Kalteng jelas tertuang dalam Perda Kalteng Nomor16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat, bahwa salah satu fungsi DAD adalah koordinasi,” ujarnya, Rabu (16/12).
Dia melanjutkan, ormas TBBR merupakan pasukan dari suatu kerajaan Bangkule Rajang tempo dulu, bukan merupakan representasi suku Dayak secara umum. Akan tetapi, TBBR telah melakukan invasi ke daerah lain atau wilayah Dayak lain. Hal itu dinilai sebagai bentuk perluasan kekuasaan atas kedaulatan Dayak yang lain, khususnya di wilayah Kalteng.
Bambang mengatakan, dalam menjalankan misinya, TBBR tidak menghormati dan menghargai lembaga adat dan ormas di Kalteng. Bahkan, Pasukan Merah menganggap lembaga/ormas lain adalah bawahan.
Menurutnya, tudingan itu dibuktikan dari TBBR yang mengangkat pimpinannya, Pangalangok Jilah sebagai Panglima Dayak tertinggi se-tanah Borneo tanpa kesepakatan dengan seluruh elemen masyarakat Dayak, termasuk di Kalteng.
”Ormas TBBR juga telah melakukan pemaksaan atas budaya dan tradisi Bangkule Rajang terhadap masyarakat Dayak di Kalteng. Padahal, kami orang Dayak Kalteng sudah memiliki tatanan kehidupan yang tertuang dalam falsafah huma betang dan belum bahadat sejak turun-temurun,” katanya.
Kemudian, ujar Bambang, dalam setiap aksi dan kegiatan, TBBR selalu mempertontonkan budaya kekerasan dan kebrutalan dengan cara menyayat diri sendiri dan orang lain menggunakan senjata tajam.
Bambang melanjutkan, TBBR telah melakukan agresi ke berbagai lapangan usaha masyarakat, termasuk demo dan penekanan fisik ke beberapa investor di Kalteng yang dinilai mengganggu iklim investasi dengan cara mengerahkan massa berjumlah besar. Dia juga menilai TBBR kasar dan brutal dalam setiap aksinya yang menimbulkan ketakutan bagi masyarakat, termasuk tenaga kerja.
Kemudian, lanjut Bambang, TBBR dalam misi memperluas wilayah kekuasaannya di Kalteng selalu memakai pola kekerasan dan memancing keributan dengan ormas lain. Bahkan, sampai melarang ormas lain ikut berkontribusi demi menyelesaikan persoalan, termasuk apabila ada permasalahan antara oknum masyarakat dengan oknum perusahaan.
”TBBR dalam melakukan invasi adat, budaya, dan tradisi ke Kalteng, sama sekali tidak menghormati masyarakat dan pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalteng untuk berkoordinasi atau mengoordinasikan kegiatan terkait ritual adat dan kebudayaan yang mereka lakukan,” ungkapnya.
Bambang menuding Pasukan Merah selama berada di Kalteng tidak pernah melibatkan diri dalam sejumlah kegiatan sosial untuk kemanusiaan. Selain itu, tidak pernah berpartisipasi dalam kegiatan penanggulangan bencana alam maupun sejumlah kegiatan kebudayaan.
Menurutnya, kehadiran TBBR di Kalteng sudah menyangkut hal-hal yang prinsip dan fundamental. Selain itu, mendegradasi budaya dan kearifan lokal masyarakat adat Dayak Kalteng yang sudah tertata dalam kaidah falsafah huma betang dan belum bahadat.
”Tidak sedikit masyarakat yang sudah mulai marah. Pihak TBBR tidak pernah menghargai niat baik kami dan akhirnya kami melakukan aksi unjuk rasa itu. Kami meminta MADN supaya memerintahkan DAD Kalteng segera melaksanakan sidang adat,” tegasnya.
Bambang menjelaskan, pihaknya melapor ke MADN karena DAD Kalteng masih Demisioner. ”Laporan kami disertai alat bukti pelanggaran TBBR, seperti surat, foto, video, dan rekaman audio. Ini semua untuk mengurangi potensi kegaduhan publik di medsos yang bisa berakibat semakin memperkeruh suasana dan mempertajam kesalahpahaman publik,” tandasnya. (daq/ign)


